PERUBAHAN PERSEPSI
A. Masalah Utama
Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi
B. Proses Terjadinya masalah
1. Pengertian
- Menurut Cook dan Fontaine (1987) perubahan persepsi sensori : halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana klien mengalami perubahan persepsi sensori, seperti merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebetulnya tidaka ada. Selain itu, perubahan persepsi sensori : halusinasi bias juga diartikan sebagai persepsi sensori tentang suatu objek, gambaran, dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar meliputi semua system penginderaan (pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan )
- Individu menginterpretasikan stressor yang tidak ada stimulus dari lingkungan (Depkes RI, 2000).
- Suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan pada pola stimulus yang mendekat (yang diprakarsai secara internal dan eksternal) disertai dengan suatu pengurangan berlebih lebihan atau kelainan berespons terhadap stimulus (Towsend, 1998).
- Kesalahan sensori persepsi dari suatu atau lebih indra pendengaran, penglihatan, taktil, atau penciuman yang tidak ada stimulus eksternal (Antai Otong, 1995).
- Gangguan penyerapan/persepsi pancaindra tanpa adanya rangsangan dari luar. Gangguan ini dapat terjadi pada system penginderaan pada saat kesadaran individu tersebut penuh dan baik. Maksudnya rangsangan tersebut terjadi pada saat klien dapat menerima rangsangan dari luar dan dari individu sendiri. Dengan kata lain klien berespons terhadap rangsangan yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat dibuktikan (Wilson, 1983).
2. Teori yang menjelaskan Halusinasi (Stuart dan Sundeen, 1995)
- Teori Biokimia
Terjadi sebagai respons metabolism terhadap stress yang mengakibatkan terlepasnya zat halusinogenik neurotic (buffofenon dan dimethytransferase).
- Teori Psikonoanalisis
Merupakan respons pertahanan ego untuk melawan rangsangan dari luar yang mengancam dan ditekan untuk muncul dalam alam standar.
3. Jenis Halusinasi Serta Data Objektif dan Subjektif
Berikut ini akan dijelaskan mengenai cirri-ciri yang objektif dan subjektif pada klien dengan halusinasi.
Tabel. Jenis Halusinasi serta Ciri Objektif dan Subjektif
Klien Yang Mengalami Halusinasi
Jenis Halusinasi | Data Objektif | Data Subjektif |
Halusinasi Dengar (klien mendengar suara/ bunyi yang tidak ada hubungannya dengan stimulus yang nyata/ lingkungan) | - Bicara atau tertawa - Marah-marah tanpa sebab - Mendekatkan telinga kearah tertentu - Menutup telinga | - Mendengar suara-suara atau kegaduhan - Mendengar suara-suara yang mengajak bercakap-cakap - Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya |
Halusinasi Penglihatan (Klien melihat gambaran yang jelas/ samar terhadap adanya stimulus yang nyata dari lingkungan dan orang lain tidak melihatnya) | - Menunjuk-nunjuk kearah tertentu - Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas | Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, kartun, melihat hantu, atau monster. |
Halusinasi Penciuman (Klien mencium suatu bau yang muncul dari sumber tertentu tanpa stimulus yang nyata) | - Mengendus-endus seperti sedang membau bauan tertentu - Menutup hidung | Membau-baui bauan seperti darah , urine, feses, dan terkadang bau bauan tersebut menyenangkan bagi klien |
Halusinasi pengecapan (Klien merasakan sesuatu yang tidak nyata, biasanya merasakan rasa makanan yang tidak enak) | - Sering meludah - Muntah | Merasakan rasa seperti darah, urine, feses |
Halusinasi Perabaan (Klien merasakan sesuatu pada kulitnya tanpa pada stimulus yang nyata) | Menggaruk garuk permukaan kulit | - Mengatakan ada serangga di permukaan kulit - Merasa seperti tersengat listrik |
Halusinasi Kinestetik (Klien merasa badannya bergerak dalam suatu ruangan atau anggota badannya bergerak) | Memegang kakinya yang dianggap bergerak sendiri | Mengatakan badannya melayang di udara. |
Halusinasi Viseral (Perasaan sesuatu timbul dalam tubuhnya) | Memegang badannya yang dianggap berubah bentuk dan tidak normal seperti biasanya | Mengatakan perutnya menjadi mengecil setelah minum soft drink. |
Sumber : Stuart dan Sundeen (1998)
4. Factor Predisposisi
Factor predisposisi adalah factor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh baik dari klien maupun keluarganya. Faktor predisposisi dapat meliputi factor perkembangan, sosiokultural, biokimia, psikologis dan genetik.
- Factor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.
- Faktor Sosiokultural
Berbagai factor di masyarakat dapat menyebabkan seseorang merasa disingkirkan, sehingga orang tersebut merasa kesepian dilingkungan yang membesarkannya.
- Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika seseorang mengalami stress yang berlebihan, maka didalam tubuhnya akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti buffefenon dan dymethytranferase (DMP)
- Faktor psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda bertentangan yang sering diterima oleh seseorang akan mengakibatkan stress dan kecemasan yang tinggi dan berakhir pada gangguan orientasi realitas.
- Faktor Genetik
Gen yang berpenbgaruh pada skizofrenia belum diketahui, tetapi hasil study menunjukan bahwa factor keluarga menunjuka hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
5. Faktor Presipitas
Faktor presipitasi yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energy ekstra untuk menghadapinya. Adanya rangsangan dari lingkungan, seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama tidak diajak berkomunikasi, objek yang ada dilingkungan, dan juga suasana sepia tau terisolasi sering menjadi pencetus terjadinya halusinasi. Hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.
6. Perilaku
Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa rasa curiga, takut, tidak aman, gelisah dan bingung, berperilaku yang merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Rawlin dan Heacock (1993) mencoba memecahkan masalah halusinasi berdasarkan atas hakikat keberdaan seorang individu sebagai makhluk yang dibangun atas dasar unsure-unsur bio psiko sosio spriritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi yaitu sebagai berikut.
- Dimensi Fisik
Manusia dibangun oleh system indra untuk menanggapi rangsangan eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa. Penggunaan obat-obatan , demam hingga delirium, intoksikasi alcohol, dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
- Dimensi Emosional
Persaan cemas yang berlebihan karena problem atau masalah yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut sehingga berbuat sesuatu terhadap ketakutannya.
- Dimensi Intelektual
Dimensi intelektual menerangkan bahwa individu yang mengalami halusinasi akan memeperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, tetapi pada saat tertentu menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tidak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
- Dimensi Sosial
Dimensi social pada individu yang mengalami halusinasi menunjukan kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi social, control diri, dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan system control oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, maka hal tersebut dapat mengancam dirinya atau orang lain. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan pada klien yang mengalami halusinasi adalah dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan agar klien tidak menyendiri. Jika klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya diharapkan halusinasi tidak terjadi.
- Dimensi spirual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk social, sehingga interaksi dengan manusia lainnya merupakn kebutuhan yang mendasar. Klien yang mengalami halusinasi cenderung menyendiri hingga proses diatas tidak terjadi system control dalam individu tersebut. Saat halusinasi menguasai dirinya, individu kehilangan kontrol terhadap kehidupan nyata.
7. Sumber Koping
Sumber koping merupakan suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan ansietas dengan menggunakan sumber koping yang ada dilingkungannya. Sumber koping tersebut dijadikan sebagai modal untuk menyelesaikan masalah. Dukungan social dan keyakinan budaya dapat membantu sesorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang efektif.
8. Mekanisme Koping
Mekanisme koping merupakan tiap upaya yang diarahkan pada pengendalian stress, termasuk upaya penyelesaian masalah secara langsung dan mekanisme pertahanan lain yang digunakan untuk melindungi diri.
9. Tahapan Halusinasi
- Tahap I (Non Psikotik)
Pada tahap ini, halusinasi mampu memberikan rasa nyaman pada klien, tingkat orientasi sedang. Secara umum pada tahap ini halusinasi merupakan hal yang menyenangkan bagi klien.
Karakteristik :
a. Mengalami kecemasan, kesepian, rasabersalah, dan ketakutan.
b. Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan kecemasan.
c. Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada dalam control kesadaran.
Perilaku yang muncul :
a. Tersenyum dan tertawa sendiri
b. Menggerakan bibir tanpa suara
c. Pergerakan mata yang cepat
d. Respons verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi.
- Tahap II (Non Psikotik)
Pada tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan mengalami tingkat kecemasan berat. Secara umum halusinasi yang ada dapat menyebabkan antipasti.
Karakteristik :
a. Pengalaman sensori menakutkan atau merasa dilecehkan oleh pengalaman tersebut.
b. Mulai merasa kehilangan control
c. Menarik diri dari orang lain
Perilaku yang muncul :
a. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan, dan tekanan darah
b. Perhatian terhadap lingkungan menurun.
c. Konsentrasi terhadap pengalaman sensoripun menurun.
d. Kehilangan kemampuan dalam membedakan halusinasi dan realita.
- Tahap III (Psikotik)
Klien biasanya tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, tingkat kecemasan berat, dan halusinasi tidak dapat ditolak lagi.
Karakteristik :
a. Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya.
b. Isi halusinasi menjadi atraktif
c. Klien menjadi kesepian bila pengalaman sensori berakhir
Perilaku yang muncul :
a. Klien menuruti perintah halusinasi
b. Sulit berhubungan dengan orang lain
c. Perhatian terhadap lingkungan sedikit atau sesaat.
d. Tidak mampu mengikuti perintah yang nyata
e. Klien tampak tremor dan berkeringat
- Tahap IV (Psikotik)
Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan biasanya klien terlihat panik.
Perilaku yang muncul :
a. Resiko tinggi mencederai
b. Agitasi/kataton
c. Tidak mampu merespon rangsangan yang ada
Timbulnya perubahan persepsi sensori halusinasi biasanya diawali dengan seseorang yang menarik diri dari lingkungannya karena orang tersebut menilai dirinya rendah. Bila klien mengalami halusinasi dengar dan lihat atau salah satunya menyuruh pada kejelekan, maka akan beresiko terhadap perilaku kekerasan.
C. Pohon Masalah
Effect Risiko Tinggi perilaku kekerasan
Perubahan persepsi sensori : Halusinasi
Core problem
Causa Isolasi social
Harga diri rendah kronis
Gambar: Pohon Masalah Perubahan Persepsi Sensori : halusinasi
D. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul
1. Resiko tinggi perilaku kekerasan
2. Perubahan persepsi sensori
3. Isolasi social
4. Harga diri rendah kronis
E. Data yang Perlu Dikaji
Masalah Keperawatan | Data yang Perlu Dikaji |
Perubahan persepsi sensori : halusinasi | Subjektif : - Klien mengatakan mendengar sesuatu - Klien mengatakan melihat bayangan putih - Klien mengatakan dirinya seperti disengat listrik - Klien mencium bau-bauan yang tidak sedap seperti feses. - Klien mengatakan kepalanya melayang diudara - Klien mengatakan ada sesuatu yang berebada pada dirinya. Objektif : - Klien terlihat bicara atau tertawa sendiri saat dikaji - Bersikap seperti mendengarkan sesuatu - Berhenti bicara ditengah-tengah kalimat untk mendengarkan sesuatu - Disorientasi - Konsentrasi rendah - Pikiran cepat berubah-ubah - Kekacauan alur pikiran |
F. Diagnosis Keperawatan
Perubahan persepsi sensori : halusinasi
G. Rencana Tindakan Keperawatan
1. Tindakan keperawatan untuk klien
- Tujuan tindakan untuk klien adalah sebagai berikut.
a. Klien mengenali halusinasi yang dialaminya.
b. Klien dapat mengontrol halusinasinya
c. Klien mengikuti program pengobatan secara optimal
- Tindakan keperawatan
a. Membantu klien mengenali halusinasi
Diskusi adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membantu klien mengenali halusinasinya. Perawata dapat berdiskusi dengan klien terkait isi halusinasinya (apa yang didengar dan dilihat), waktu terjadi halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi. Situasi yang menyebabkan halusinasi muncul, (komunikasinya sama dengan pengkajian di atas).
b. Melatih klien mengontrol halusinasi
Perawat dapat melatih empat cara dalam mengendalikan halusinasi pada klien. Keempat cara tersebut sudah terbukti mampu mengontrol halusinasi seseorang. Keempat cara tersebut adalah menghardik halusinasi, bercakap-cakap dengan orang lain, melakukan aktivitas yang terjadwal, dan mengkonsumsi obat secara teratur.
2. Tindakan Keperawatan untuk Keluarga Klien
- Tujuan tindakan untuk keluarga
Keluarga dapat merawat klien di rumah dan menjadi system pendukung yang efektif untuk klien.
- Tindakan keperawatan
Keluarga merupakan factor vital dalam penanganan klien gangguan jiwa di rumah. Hal ini mengingat keluarga adalah system pendukung terdekat dan orang yang bersama-sama dengan klien selama 24 jam. Keluarga sangat menentukan apakah klien akan kambuh atau tetap sehat. Keluarga yang mendukung klien secara konsisten akan membuat aklien mampu mempertahankan program pengobatan secara optimal. Namun demikian, jika keluarga tidak mampu merawat maka klien akan kambuh bahkan untuk memulihkannya kembali akan sangat sulit. Oleh karena itu, perawat harus melatih keluarga klien agar mampu merawat klien gangguan jiwa di rumah.
Pendidikan kesehatan kepada keluarga dapat dilakukan melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah menjelaskan tentang masalah yang dialami oleh klien dan pentingnya peran keluarga untuk mendukung klien. Tahap kedua adalah melatih keluarga untuk merawat klien, dan tahap yang ketiga yaitu melatih keluarga untuk merawat klien langsung. Informasi yang perlu disampaikan kepada keluarga meliputi pengertian halusinasi, jenis halusinasi yang dialami oleh klien, tanda dan gejala halusinasi, proses terjadinya halusinasi, cara merawat klien halusinasi (cara berkomunikasi, pemberian obat, dan pemberian aktivitas kepada klien), serta sumber-sumber pelayanan kesehatan yang bias dijangkau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar